Beranda | Artikel
Jalan Selamat dari Talbis Iblis dalam Aqidah
Senin, 9 Agustus 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Jalan Selamat dari Talbis Iblis dalam Aqidah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 30 Dzulhijjah 1442 H / 9 Agustus 2021 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Jalan Selamat dari Talbis Iblis dalam Aqidah

Telah kita bahas sebelumnya bahwa banyak sekali pendapat yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah di dalam bab ushuluddin. Tidak bisa dipungkiri campur tangan iblis terhadap mereka sehingga membuat mereka menyumpal dari aqidah dan iman yang benar.

Salah satu contohnya adalah dari kalangan Mu’tazilah, beberapa tokoh-tokoh mereka ada yang mengemukakan pendapat-pendapat yang jelas menyimpang. Misalnya Al-Allaf  yang berpendapat bahwa penghuni surga tidak kekal selamanya di dalam surga. Ada waktunya nanti mereka menjadi beku dan diam, tidak bicara dan tidak bergerak, mereka maupun Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dapat melakukan apapun. Artinya penghuni surga tidaklah kekal selama-lamanya menikmati kenikmatan-kenikmatan surga. Ini salah satu pendapat tokoh Mu’tazilah.

Al-Allaf juga berpendapat bahwa ilmu Allah adalah Allah, kuasa Allah adalah Allah. Jadi tidak membedakan antara Dzat dengan sifat.

Kemudian salah seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Hasyim juga berkata bahwa siapa saja yang bertaubat dari segala dosa namun dia minum seteguk Khamr, maka dia akan diazab seperti azab yang diperuntukkan terhadap orang kafir selamanya.

An-Nazzam juga mempunyai pendapat yang aneh, bahwa Allah tidak mampu menciptakan kejahatan. Karena menurut kaum Mu’tazilah bahwa beriman kepada Qadar itu adalah menafikan keburukan atas Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya itu bukan ciptaan Allah, lalu mereka berkesimpulan bahwa Allah tidak mampu menciptakan kejahatan. Sedangkan iblis mampu menghadirkan kebaikan dan kejahatan. Sehingga yang dapat kita simpulkan dari pendapat ini bahwa iblis lebih kuasa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hisyam Al-Fuwati pernah menyampaikan pendapatnya yang menyimpang, bahwasanya Allah tidaklah disifati dengan Dzat yang selalu Maha Mengetahui. Adakalanya Allah tidak tahu, misalnya Allah tidak tahu kejahatan yang terjadi setelah kejahatan itu terjadi.

Mereka bertujuan untuk menafikan ataupun mensucikan Allah dari keburukan. Hingga dia berkata bahwasanya Allah tidaklah disifati dengan Dzat yang senantiasa mengetahui. Salah satu pemikiran Mu’tazilah adalah menetapkan nama tanpa sifat. Ini tentunya mengerdilkan pencipta.

Demikianlah orang-orang yang menggunakan logika mereka secara liar di dalam bab aqidah, mereka mengatakan bahwa bisa saja Allah Subhanahu wa Ta’ala berbohong, hanya saja Dia tidak akan mau melakukannya. Ini tentunya satu penghinaan terhadap Rabbul ‘Alamin.

Keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah

Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan seluruh keburukan atas diriNya. Bahwa keburukan itu tidak dikembalikan kepada Allah. Ketika hamba berbohong, tidaklah dikatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai kebohongan yang dilakukan oleh hamba itu walaupun itu ditakdirkan ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hingga dalam satu doa, Nabi menafikkan keburukan itu dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menetapkan, menghendaki dan menciptakan sesuatu itu terjadi.

Bohongnya hamba tidak bisa kita katakan Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan dalam arti kata menyukai. Benar bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki itu terjadi, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai itu. Hamba itulah yang memilih dia berbohong.

Nabi Ibrahim mengajarkan kita di dalam doanya:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan jika aku sakit, maka Engkaulah yang menyembuhkan.” (QS. Asy-Syu’ara[26]: 80)

Nabi Ibrahim tidak berkata dalam doanya: “Dan jika Engkau menyakitiku,” walaupun sakit itu dari Allah dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi tidak dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam arti kata Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki hamba itu untuk sakit. Tapi hamba itu yang memilih dirinya untuk sakit. Allah tidak menyukai hamba itu jatuh sakit, sehingga Allah menetapkan syariatNya supaya hamba itu selamat dari mudharat. Jika hamba itu jatuh dalam mudharat, maka itu adalah pilihannya.

Itu yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka Ahlus Sunnah membedakan antara iradah (kehendak) dan mahabbah (cinta). Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai. Misalnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai kekufuran, kemaksiatan, kebohongan, kedurhakaan, tapi Allah menghendaki itu terjadi. Karena tidak ada yang terjadi di atas dunia ini melainkan atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/50507-jalan-selamat-dari-talbis-iblis-dalam-aqidah/